My Post

Minggu ini khusus unsur budaya "Sistem Religi"

Jumat, 28 Desember 2012

Mari kita geser status "galau" yang mendominasi di tahun 2012. Galau yang nge-hits itu adalah suatu kata yang negatif banget. Galau itu identik dengan perasaan sedih, bingung, dan moody. Biasanya nih, kalau kita lagi galau jadinya gak semangat untuk melakukan aktivitas kita. Padahal sebenarnya gak se-terpuruk itu lho... Tapi karena sudah keburu menyandang status galau, jadinya bingun dan moody kita seperti dikali seribu dan membuat kita seolah nggak bisa berpikir secara positif :)

Selasa, 18 Desember 2012

Nyoman Bered, Belut Hidupku


            Tatkala sang mentari kembali pulang ke peraduannya bumi pertiwipun gelap gulita, hanya kerlip bintang yang bertaburan di atas birunya langit. Semua makhluk terlelap dalam mimpi indahnya, namun sesosok pria masih tetap bertarung di tengah sawah demi sesuap nasi di esok hari. Tak ada teman tak ada sanak keluarga hanya dinginnya malam yang masih mau menemaninya, di bawah sinar rembulan pak tua itupun memasang perangkap belut berharap para penghuni sawah terperangkap di dalammnya.
            Pak Nyoman Bered (70) tak pernah menyangka kalau aktifitas itu bisa dijalaninya sampai sekarang pasalnya pada bulan November lalu di tengah sawah ia terjebak dalam hujan lebat disertai semburan petir tiada henti. Hujan lebat yang disertai angin membuat lampu senter yang dibawanya mati, tidak ada yang dapat beliau lakukan dalam kegelapan kecuali menunggu hujan badai tersebut reda. “Saat itu saya sangat takut sebab beberapa hari lalunya ada penangkap belut yang nyaris tersambar petir akibat hujan badai yang terjadi” ungkapnya. Namun alangkah senangnya suami dari Alm. Ni Made Takir (74) itu ketika tengah malam hujan badai itu reda, dan iapun bisa kembali menepi dengan selamat.
            Beliau mengawali karirnya sebagai penangkap belut sejak kecil, ia tidak sempat menamatkan sekolahnya karena masalah biaya, hingga ia harus turun ke dunia kerja di usia sedini itu dan memilih profesi sebagai pencari belut. Bapak itu mengaku sejak kecil ia memang suka berburu, karena sewaktu ia kecil penghasilan menangkap belut hanya cukup untuk mengatasi perekonomian keluarganya. “Memang dulu penghasilan dari menangkap belut itu lumayan, sampai-sampai waktu masih muda saya bisa bikin rumah dari hasil menangkap belut, tapi sayang gek sejak tahun 1999 penghasilan saya merosot tajam” ceritanya. Setelah saya telisik lebih jauh ternyata alasan utama kemerosotan penghasilan penangkap belut itu adalah semakin punahnya binatang ini di sawah dan harganya semakin mahal. Maka dari itu masyarakat jarang mengonsumsi belut dan beralih ke jenis makanan yang lain.
            Meskipun dengan penghasilan seadanya pria yang tinggal di Banjar Keliki itu, tak pernah mengeluhkan profesinya sebab dari hasilnya menangkap belut ia mampu bertahan hidup meski harus berhutang di mana-mana. “Saya hanya tinggal sebatang kara di rumah ini, anak saya hanya satu dan sudah menikah. Dia tinggal di rumah suaminya” tuturnya dengan polos. Pak tua yang berpostur tubuh kurus itu juga mengungkapkan bahwa pendapatannya selama ini tidak pernah mengcukupi, penghasilannya yang tidak tetap membuatnya harus mencari pekerjaan sampingan. “Pendapatan saya toidak  tentu, sesuai musimnya,  kalau lagi musimnya semalam saya bisa dapat 100.000, tapi kalau lagi ndak musimnya saya tidak dapat apa - apa, makanya saya nyari kerjaan sampingan jadi kuli bangunan” ungkapnya.
            Pak Bered sendiri adalah mantan pejuang bangsa yang pernah tertindas dalam pemberontakan G30S/PKI.  Namun, dengan taktik yang beliau lakukan, akhirnya beliau bisa lolos dalam penganiayaan tersebut. Sangat disayangkan sekali, kedua orang tuanya menghilang semenjak kejadian tersebut. “Saya sangat merindukan mereka”, tuturnya. Profesi menangkap belut merupakan tradisi turun – temurun. Orang tuanyalah yang mengajari cara menangkap belut. 1/4 kg  belut beliau jual seharga Rp.7.000,00.
            Banyak kendala yang dialaminya selama kurang lebih 70 tahun menangkap belut, masalah cuaca, kekurangan alat, semakin punahnya binatang ini, karena banyak sawah – sawah yang dijadikan pemukiman, jarak ke sawah (sekitar 200 meter), termasuk pula masalah fisik beliau yang semakin lemah, “Maklum lah gek susah menjaga stamina agar tetap sehat jika terkena angin malam” ungkapnya serius.
            Diakhir pembicaraan kami sempat bergurau, tanpa sadar kami menanyakan apakah Pak Bered berkeinginan untuk banting setir? Jawaban yang sungguh menakjubkan kami dengar dari sosok pencari belut tangguh itu “Tidak” ungkapnya tegas. Katanya beliau sudah mencintai profesi itu, memang terkadang tak ada penghasilan sedikitpun tetapi ketika ada belut yang tertangkap rasanya seperti mendapat mutiara dari putri duyung, apalagi di zaman sekarang semuanya serba uang. Pak Bered pun memiliki harapan besar untuk kehidupannya di usianya yang semakin tua. Akan tetapi, harapan tinggal harapan “mau gimana lagi gek, harapan sih besar tapi tenaga sama modal sudah ndak ada”. Kini Pak Bered hanya bisa bermimpi untuk meningkatkan taraf hidupnya, semua ia serahkan kepada yang di atas, karena beliau yakin usianya tidak akan lama lagi dan ia hanya hidup sebatang kara.


Selasa, 11 Desember 2012

Sedikit ingin bercerita hari ini


KEKECEWAAN
(devi wiryanti)
Apakah semua orang harus mengencangkan suaranya dan berkata seenaknya?
Aku kecewa malam ini, aku tidak ingin berkomentar banyak…
Aku percaya, jikalau bahasa lisan seseorang, akan menghantarkannya menjadi orang yang kelihatannya pemberani, percaya diri, terkenal, dan  akhirnya menjadi disegani serta semua orang takluk padanya. Tetapi, perlu diingat bahwa tidak semua orang merasa bahwa bahasanya paling benar. Di satu sisi, ada kalanya mereka tak banyak berkomentar tetapi mengerti dan paham dengan apa yang akan mereka laksanakan. Namun , di sisi lain sebagian orang selalu berkomentar, tetapi mereka tak mau melaksanakan apa yang telah mereka komentari. Sungguh naas sekali nasib orang – orang yang tertindas karena tak suka berkomentar dan jikalau mereka berkomentar sesuai dengan hati nurani, toh juga tak di dengar oleh mereka yang sering berkomentar! Lalu apa yang harus mereka lakukan? Apakah mereka yang selalu tertindas, harus tetap mempertahankan jati dirinya? Ataukah mereka harus menjadi orang lain agar terlihat seperti orang pemberani?
Kalian bilang itu hal sepele? Kalian boleh mengabaikan itu semua. Apa sebabnya? Karena kalian tidak mengerti dengan perasaan teman kalian. Karena pikiran kalian berbeda dengan pikiran teman kalian. Kami memang berbeda. Tetapi, kami belum tau dimana letak perbedaan itu. Tolong hargai sedikit teman kalian yang  jiwanya mungkin berbeda dengan kalian. Temukan jati diri satu sama lain. Cari perbedaan. Dan satukan dengan persamaan yang dimiliki. Itu baru namanya teman. Bukan merasa diri paling bisa. Merasa diri paling benar. Merasa diri paling penting. Jangaaaannn.. jangan katakan dirimu  paling penting. Saya hidup di dunia ini juga memiliki kepentingan. Yang lain juga begitu. Hufs…
Kamu pintar? Kamu bisa? Kamu berani ngomong? Oke.. saya terima. Tetapi, apakah teman – teman yang lain bisa menerima posisimu seperti aku bisa mengerti dan menerimamu? Saya kira tidaak.. sebab., karakter orang berbeda – beda. Percuma dong masuk perguruan tinggi yang mengenal pendidikan karakter, tetapi mengabaikan penerapannya dalam kehidupan sehari – hari. Dassaarrr….. cuek si cuek…. Tetapi, janganlah cuek dikala teman lagi membutuhkanmu… woe… saat  ini mungkin kamu memang ada di atas. Tetapi roda terus berputar. Suatu saat anda apsti akan membutuhkan orang yang tidak anda hiraukan saat ini. Bahkan akan sangat membutuhkannya. Percayalah itu J

Kamis, 06 Desember 2012

Air Suci Multifungsi


           Dalam  Agama Hindu, secara verbal sudah menyatakan bahwa air atau tirta menduduki posisi paling hakiki dan paling sakral. Hingga kini, kalau kita amati secara mendalam, adakah sebuah upakara atau ritual di Bali yang bisa dipuput tanpa tirta? Tidak ada. Upacara selalu terkait dengan mata air, beji dan, patirtan. Tak ada pewalian atau odalan tanpa rangkaian mendak tirta (menjemput tirta). Ini sebuah bentuk sublim penghargaan terhadap ibu. Bisa kita lihat dari roh suci yang menjaga sumber air dan sungai selalu feminin, bergelar Dewi, Ratu Ayu, atau Bhatari. Bukankah ini sebuah warisan “pelajaran gender” dan feminisme yang diturunkan dalam ritual? Ya, memang benar seperti itu adanya. Pada Kesempatan Kali ini saya akan memberikan sebuah informasi tentang keberadaan tirta yang disakralkan.
          Kuburan. Disitulah tempat keberadaan tirta atau yang dikenal dengan air suci tersebut. Tirta atau air suci ini terdapat di sebuah kuburan milik Desa Pekraman keliki, yang beralamat di Jalan Setra, Banjar Keliki, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar-Bali. Lebih khususnya lagi, tirta ini berada tepat di arah barat laut, daerah kuburan tesebut. Di arah barat laut kuburan, genah atau tempat tirta tersebut, terdapat tempat munculnya tirta tersebut yang terbuat dari batu/paras berbentuk kotak. Di sekeliling kotak itu terdapat tulang belulang dan tengkorak manusia. Hal itu menimbulkan suasana yang menyeramkan jika menghampiri tempat tirta tersebut.
           Jika ingin mendapatkan tirta tersebut, cukup siapkan mental saja. Sebab, harus memasuki kuburan pada hari – hari yang disucikan oleh umat beragama Hindu. Pada hari raya Kajeng Kliwon misalnya. Namun, jika seseorang memiliki keyakinan dengan tirta ini dan bisa berkonsentrasi saat nunas tirta tersebut, niscaya segala permasalahan ataupun penyakit yang ada dalam diri kita sendiri bisa disembuhkan dan diselesaikan. Tirta ini adalah tirta yang muncul dengan sendirinya, jika seseorang berniat nunas dan dijadikan sebagai obat ataupun keperluan lain. Caranya sangat mudah sekali. Cukup dengan membawa canang sari, 3 buah dupa, dan konsentrasi. Setelah itu panjatkan doa agar tirta tersebut datang dan mengisi tempat yang tadinya kosong. Jika tirtanya sudah turun, silahkan mohon izin untuk nunas dan sebelum meninggalkan kuburan dianjurkan untuk mepamit terlebih dahulu. Menurut Ida Bagus yang menjadi pemangku di pura prajapati, tirta tersebut sudah ada sejak dahulu kala dan sampai saat ini tidak diketahui penemunya. Setelah saya mewawancarai beberapa warga di Desa Keliki, ternyata sekitar 75% masyarakatnya tidak mengetahui keberdaan tirta tesebut. 10% masyrakat mengetahui, namun khasiatnya belum diketahui secara penuh. Dan hanya 15% masyarakat yang tau betul tentang tirta tersebut. Kebanyakan adalah orang suci dan pemuka desa  saja. 
                Ternyata, selain bisa menyembuhkan penyakit yang diderita oleh manusia, tirta ini juga bisa menyembuhkan penyakit binatang peliharaan kita. Tirta ini diciptakan sudah pasti khendak ISHW/TYME.

Selasa, 04 Desember 2012

Misteri Penemuan Mirah, Desa Pekraman Keliki





            Desa Pekraman Keliki merupakan  satu dari tujuh desa yang terdapat di kecamatan Tegallalang, kabupaten Gianyar.  Desa ini terletak di persimpangan daerah pariwisata dan bahkan sudah menjadi daerah persinggahan para tamu mancanegara. Dengan adanya banyak kunjungan tamu mancanegara, maka desa ini berusaha memberikan pelayanan agar memuaskan para tamu mancanegara yang datang berwisata ke desa tersebut.  Salah satunya adalah perluasan jalan dari pangkal desa menuju ujung desa Keliki. Jalan yang diperluas ini adalah jalan pintas yang melewati sema atau kuburan dan disebelah kuburan terdapat villa khusus disewakan untuk tamu mancanegara yang ingin bermalam di sana.
            Tepat di hari raya Kajeng Kliwon, tanggal 22 November 2012 lalu, seorang pengemudi buldoser dikagetkan oleh Penemuan sebuah batu permata berwarna merah atau mirah di bawah pelinggih (tempat suci umat beragama Hindu). Seorang pengemudi buldoser, Allimudin yang kerap disapa Allim dalam penjelasannya mengatakan, karena sebuah mesin yang digunakan untuk meratakan tanah menyenggol pelinggih tersebut. Sehingga pelinggih yang berada tepat di sebelah jurang yang berdekatan dengan pura “duur gunung” Desa Pekraman Keliki, kecamatan Tegalllalang kabupaten Gianyar.
            Allimudin bermaksud untuk meratakan tanah yang ada di dekat jurang. Di sebelah timur jurang tersebut terdapat sebuah pelinggih. Secara tidak sengaja pelinggih tersebut disenggol oleh mulut buldoser. Pada akhirnya pelinggih tersebut runtuh dan serpihannya jatuh ke jurang. Alimudin yang sedang mengemudikan doser merasa kaget dan menghampiri mulut jurang. Dia tidak mengetahui bahwa benda yang jatuh ke jurang itu adalah bangunan pelinggih yang di sakralkan oleh penduduk di desa Keliki. Hal ini dimaklumi oleh masyarakat setempat, sebab Alllimudin sendiri kepercayaannya adalah agama Islam. Setelah Allim mengetahui bahwa itu merupakan bangunan sakral, dengan langkah yang agak tergesa - gesa pengemudi buldoser itu mencari sumber berdirinya bangunan yang telah runtuh tersebut, yang tersisa hanyalah batu permata berwarna merah. “Tanpa berpikir panjang saya segera mengambilnya dan memasukan ke dalam kantong celana saya.”, ujarnya. Namun, ketika Allim beristirahat makan siang dengan buruh pekerja jalan yang lainnya, tiba – tiba ia merasakan sesuatu yang bergerak – gerak di dalam celananya. Karena merasa geli, ia segera berdiri. Ia merasakan sesuatu yang bergerak itu di kantong celananya (tempat menyimpan mirah yang ia temukan tadi). Dengan perlahan Allim memasukan  tangannya ke dalam kantong celana yang dipakainya. Ternyata, seekor ular berwarna merah dengan tatapan mata yang tajam menatap mata seorang pengemudi buldoser yang kebingungan ini. “ Saya sangat terkejut dan segera melepaskan ular tersebut,” ujar Alimudin.
            Menurut Ida Pedanda, pemuka agama hindu di desa keliki, ular tersebut merupakan “due” atau ida bhatara yang berstana di pelinggih atau bangunan suci tersebut. Mirah atau batu permata yang ditemukan dan diambil secara diam - diam itu adalah lambangnya. Jero mangku Mertha yang dikenal sebagai orang suci menambahkan, jika bangunan suci itu tidak dibangun kembali, maka akan berdampak negatif  terhadap masyarakat setempat. Walaupun tuhan ada di mana – mana, umat beragama hindu selalu melambangkannya dengan sebuah simbol, salah satunya adalah pelinggih. “Tidak hanya manusia yang butuh tempat tinggal, “  tandasnya.