Tatkala sang mentari kembali pulang
ke peraduannya bumi pertiwipun gelap gulita, hanya kerlip bintang yang
bertaburan di atas birunya langit. Semua makhluk terlelap dalam mimpi indahnya,
namun sesosok pria masih tetap bertarung di tengah sawah demi sesuap
nasi di esok hari. Tak ada teman tak ada sanak keluarga hanya dinginnya malam
yang masih mau menemaninya, di bawah sinar rembulan pak tua itupun memasang
perangkap belut berharap para penghuni sawah terperangkap di dalammnya.
Pak Nyoman Bered (70) tak pernah
menyangka kalau aktifitas itu bisa dijalaninya sampai sekarang pasalnya pada
bulan November lalu di tengah sawah ia terjebak dalam hujan lebat disertai
semburan petir tiada henti. Hujan lebat yang disertai angin membuat lampu senter
yang dibawanya mati, tidak ada yang dapat beliau lakukan dalam kegelapan
kecuali menunggu hujan badai tersebut reda. “Saat itu saya sangat takut sebab
beberapa hari lalunya ada penangkap belut yang nyaris tersambar petir akibat
hujan badai yang terjadi” ungkapnya. Namun alangkah senangnya suami dari Alm.
Ni Made Takir (74) itu ketika tengah malam hujan badai itu reda, dan iapun bisa
kembali menepi dengan selamat.
Beliau mengawali karirnya sebagai penangkap
belut sejak kecil, ia tidak sempat menamatkan sekolahnya karena masalah biaya,
hingga ia harus turun ke dunia kerja di usia sedini itu dan memilih profesi
sebagai pencari belut. Bapak itu mengaku sejak kecil ia memang suka berburu,
karena sewaktu ia kecil penghasilan menangkap belut hanya cukup untuk mengatasi
perekonomian keluarganya. “Memang dulu penghasilan dari menangkap belut itu
lumayan, sampai-sampai waktu masih muda saya bisa bikin rumah dari hasil
menangkap belut, tapi sayang gek sejak tahun 1999 penghasilan saya merosot
tajam” ceritanya. Setelah saya telisik lebih jauh ternyata alasan utama kemerosotan
penghasilan penangkap belut itu adalah semakin punahnya binatang ini di sawah
dan harganya semakin mahal. Maka dari itu masyarakat jarang mengonsumsi belut
dan beralih ke jenis makanan yang lain.
Meskipun dengan penghasilan seadanya
pria yang tinggal di Banjar Keliki itu, tak pernah mengeluhkan profesinya sebab
dari hasilnya menangkap belut ia mampu bertahan hidup meski harus berhutang di
mana-mana. “Saya hanya tinggal sebatang kara di rumah ini, anak saya hanya satu
dan sudah menikah. Dia tinggal di rumah suaminya” tuturnya dengan polos. Pak
tua yang berpostur tubuh kurus itu juga mengungkapkan bahwa pendapatannya
selama ini tidak pernah mengcukupi, penghasilannya yang tidak tetap membuatnya
harus mencari pekerjaan sampingan. “Pendapatan saya toidak tentu, sesuai
musimnya, kalau lagi musimnya semalam saya bisa dapat 100.000, tapi kalau
lagi ndak musimnya saya tidak dapat apa - apa, makanya saya nyari kerjaan
sampingan jadi kuli bangunan” ungkapnya.
Pak Bered sendiri adalah mantan pejuang
bangsa yang pernah tertindas dalam pemberontakan G30S/PKI. Namun, dengan taktik yang beliau lakukan,
akhirnya beliau bisa lolos dalam penganiayaan tersebut. Sangat disayangkan
sekali, kedua orang tuanya menghilang semenjak kejadian tersebut. “Saya sangat
merindukan mereka”, tuturnya. Profesi menangkap belut merupakan tradisi turun –
temurun. Orang tuanyalah yang mengajari cara menangkap belut. 1/4 kg belut beliau
jual seharga Rp.7.000,00.
Banyak kendala yang dialaminya selama
kurang lebih 70 tahun menangkap belut, masalah cuaca, kekurangan alat, semakin
punahnya binatang ini, karena banyak sawah – sawah yang dijadikan pemukiman,
jarak ke sawah (sekitar 200 meter), termasuk pula masalah fisik beliau yang
semakin lemah, “Maklum lah gek susah menjaga stamina agar tetap sehat jika
terkena angin malam” ungkapnya serius.
Diakhir pembicaraan kami sempat bergurau,
tanpa sadar kami menanyakan apakah Pak Bered berkeinginan untuk banting setir?
Jawaban yang sungguh menakjubkan kami dengar dari sosok pencari belut tangguh
itu “Tidak” ungkapnya tegas. Katanya beliau sudah mencintai profesi itu, memang
terkadang tak ada penghasilan sedikitpun tetapi ketika ada belut yang
tertangkap rasanya seperti mendapat mutiara dari putri duyung, apalagi di zaman
sekarang semuanya serba uang. Pak Bered pun memiliki harapan besar untuk
kehidupannya di usianya yang semakin tua. Akan tetapi, harapan tinggal harapan
“mau gimana lagi gek, harapan sih besar tapi tenaga sama modal sudah ndak ada”.
Kini Pak Bered hanya bisa bermimpi untuk meningkatkan taraf hidupnya, semua ia serahkan
kepada yang di atas, karena beliau yakin usianya tidak akan lama lagi dan ia
hanya hidup sebatang kara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar